Berdasarkan kacamata sosial, masyarakat Indonesia memiliki kelekatan yang mendalam terhadap adat istiadat dan kebudayaan, bahkan eksistensi adat itu sendiri tak jarang memegang kendali utama terhadap pelbagai keputusan penting di tengah masyarakat. Replika laki-laki dan perempuan yang saling membutuhkan, ayah dan ibu saling bertanggung jawab atas anak, yang tua dan yang muda saling memberi peran adalah manifestasi sederhana rantai kemasyarakatan yang harus seimbang. Namun keputusan yang seharusnya mengundang kemaslahatan justru menjadi tombak yang merenggut kebahagiaan perempuan, bukankah perempuan juga bagian rantai kemasyarakatan?.
Peleburan nilai-nilai adat nenek moyang dan beragam stigma negatif terhadap perempuan merupakan aksi-reaksi yang perlu dikaji lebih jauh, sebab kesuksesan dalam pendidikan, ekonomi dan politik masih menjadi mimpi bagi sekian banyak perempuan Indonesia. Sayangnya kata “sukses” kadang terkesan kontradiktif jika disandingkan pada perempuan terkhusus di pedalaman nusantara. Jika mengulik turunan daripada problematika tersebut salah satunya ialah kurangnya penyerapan ilmu agama, maka diperlukan momok pemberdaya potensial baru dalam rantai kemasyarakatan sebagai penyeimbang, lantas siapa yang mampu memikul amanah tersebut?.
Dalam lintasan sejarah adat Jawa, banyak istilah yang mengasingkan perempuan dari mimpi-mimpi besar. Ironinya budaya tersebut terlanjur menjamur di masyarakat, diantaranya “perempuan itu kanca wingking” artinya teman belakang, bahwa seorang istri itu teman suami dalam mengelola rumah tangga khususnya mengasuh anak, memasak, mencuci dll. Kemudian data dari Human Development Report (2018) menjelaskan bahwa tingkat kesetaraan gender semakin rendah dan tingkat kematian perempuan lantaran masalah kehamilan semakin tinggi. Bagaimana tidak, hingga kini stereotip perempuan sebagai alat reproduksi nyata adanya, hamil melahirkan dan mengasuh sudah lumrahnya menjadi tanggung jawab utamanya, relevan dengan istilah adat Jawa “perempuan itu manak macak masak” bahwa perempuan tugasnya melahirkan, berdandan dan memasak untuk suaminya, alih-alih mendapat kesejahteraan lebih, justru kesehatan perempuan yang dinomer sekiankan.
Langgengnya budaya inilah yang mendudukkan perempuan sebagai kaum inferior sekaligus objek utama dari: diskriminasi, marginalisasi pada ranah domestik, eksploitasi dengan tuntutan menikah cepat juga perilaku kekerasan. Maka tak heran pabila perempuan cenderung pasrah akan masa depannya, padahal perempuan tidak hanya sebatas individu kecil pada kemajuan laki-laki melainkan entitas yang lebih besar yaitu madrasah ula dari generasi ke generasi. Bahkan seorang ulama Azhar sekaligus azhari ahli tafsir Syekh Mutawalli Syarawi mengatakan, “Ada 5 hal yang mengurangi nilai kekuatan laki-laki; meninggalkan shalat, berbohong, pelit, durhaka kepada orangtua, dan menyakiti perempuan.”
Dulu, pada generasi pertama Islam perempuan berperan penting dalam jejak dakwah Nabi SAW. Sayyidah Khadijah misalnya beliaulah perempuan pertama yang totalitas menopang perjuangan dakwah Rasulullah SAW dengan dukungan ekonomi, lalu Sayyidah Aisyah beliaulah pendidik wanita pertama dalam Islam khususnya periwayatan hadits-hadits Nabi hingga menjadikannya guru bagi kaum perempuan maupun laki-laki. Belum lagi pada masa penjajahan seperti R.A. Kartini dalam pendidikan, Cut Nyak Dien dalam peperangan dll. Merekalah perempuan yang namanya kekal dalam sejarah memberi energi positif pada kehidupan kita. Kini, mengapa adat yang menjadi barometer kebermanfaatan perempuan?.
Sudah saatnya eksistensi agen pemberdayaan perempuan memberi sentuhan keagamaan pada tiap lini kemasyarakatan. Pada kesempatan yang sama Al-Azhar sepanjang kiprahnya sebagai instansi pendidikan yang konsisten merumuskan kemajuan perempuan turut menggembleng anak didiknya para azhari agar proaktif melanjutkan tongkat estafet, bahkan Al-Azhar sendiri berhasil melahirkan tokoh cendekiawan perempuan seperti Dr. Nahla Sabry El-Saidy yang menjabat sebagai direktur markaz tathwir, penasehat grand syekh juga aktifis perempuan yang getol menyuarakan kesetaraan gender sesuai syariat Islam. Berangkat dari korelasi Al-Azhar dan ilmu agama, Al-Azhar dan ilmu sosial, Al-Azhar dan pandang wasatiyahnya menjadikan posisi azhari tepat sebagai kader pemberdaya masyarakat terlebih pengimplementasian konsep sesungguhnya perempuan dalam Islam.
Dalam trek sedemikian rupa tuntutan terhadap mahasiswa Al-Azhar tidaklah sederhana namun tidak pula asing, sebab hal ini menjadi tanggungjawab krusial sekaligus kesempatan strategis bagi mereka. Dengan beramunisikan ilmu agama yang mendalam serta ilmu sosial yang moderat, azhari telah memasok bahan bakar utama dalam memainkan peran kunci dakwah di pelbagai bidang menyongsong era perempuan berdaya di masa depan.
Meneropong sejauh mana azhari dapat menjadi aktor kunci perubahan, beberapa langkah konkrit dapat ditempuh. Pertama, Dakwah pendidikan: dengan menimbang objek sasaran yakni para generasi muda dan pendidikan sebagai fondasi utama kesadaran bercita-cita, maka andil azhari dalam merekonstruksi kurikulum sekolah sangatlah esensial, agar doktrin budaya tak lagi terserap mentah-mentah sejak dini. Berdasarkan survey PISA (Programme for International Student Assesment) Indonesia menduduki peringkat 72 dari 77 negara, yang menunjukkan bahwa kualitas Pendidikan Indonesia bercokol di peringkat 6 terbawah, sehingga bisa dikatakan bahwa dakwah azhari merupakan bentuk dari tanggung jawab akademis.
Kedua, Dakwah politik: yakni pola kontribusi azhari yang berkecimpung dalam organisasi kemasyarakatan atau pemerintahan, yang konsisten berinisiatif menyalurkan aspirasi dan menyediakan kursi bagi perempuan tanpa harus mengabaikan perannya sebagai anak, istri atau ibu. Ketiga, Dakwah Sosial: melalui kajian keagamaan serta sesi edukasi khusus perempuan, azhari bisa melakukan pendekatan adaptif guna menumbuhkan antusiasme masyarakat dalam menerima elaborasi nilai-nilai Islam kedalam adat dan budaya setempat.
Terakhir, Literasi dan Digital: Dewasa ini, perkembangan media sosial yang melesat drastis menjadikan model dakwah berikut turut naik daun di kalangan masyarakat. kemudahan akses bagi semua kalangan menjadi keuntungan azhari dalam mengoptimalkan media sosial sebagai sarana dakwah yang bertujuan memberi perspektif harmonis dalam penerapan ilmu agama guna menengahi kekolotan adat yang sekian abad mengendalikan pola pikir masyarakat. Sebagaimana dicontohkan Al-Azhar yang bahkan menerbitkan majalah “Shoutul Azhar” dengan edisi khusus mengusung 14 fatwa tentang perempuan.
Kompleksitas dinamika rantai kemasyarakatan bak gunung yang curam, siapapun yang ingin menaklukannya tanpa alat pengaman, fisik yang bugar, teknik mendaki dan strategi juang, mustahil akan mencapai tujuan. Maka dari itu urgensitas kebutuhan kaum perempuan terhadap kontribusi para azhari negeri demi menjembatani cita-cita mereka dengan pendekatan agama dan sosial merupakan salah satu kabatul qussod dari sekian permasalahan yang haus akan kontribusi mahasiwa Al-Azhar.
Dalam menjalankan perannya suatu tantangan bagi azhari dalam mengaplikasikan program-program dakwahnya kepada masyarakat. Maka perlu adanya tuas pendorong tambahan, dalam hal ini dibutuhkan kerja sama yang positif dengan berbagai instansi setempat agar mobilisasi nilai-nilai tertransferkan secara efektif komprehensif. Hingga kini, perempuan berdaya perempuan berjaya bisahkah menjadi nyata atau sebatas angan semata?.
Oleh : Millenia Dian Kumala